Selasa, 04 Agustus 2015

Menjadikan Papua Ibu Kota Kedua

Oleh Bambang Setiaji *
TRAGEDI Tolikara mungkin tidak perlu terjadi bila keadaan Papua tidak setertinggal sekarang. Bayang-bayang Papua akan melepaskan diri karena ketidakadilan kemajuan yang  dicapai antara wilayah barat dan Papua pun tidak selebar ini. 
 Hal  seperti itu bukanlah tanpa alasan. Tidak mudah membangun Papua. Wilayahnya sangat luas. Provinsi Papua dan Papua Barat se luas 3,2 kali luas Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 3,6 juta atau 2,5 persen penduduk Jawa. Bila kemajuan Papua hanya diserahkan kepada swasta tanpa cam pur tangan negara, tentu butuh waktu yang sangat lama dan mungkin akan terlambat.
 Swasta akan selalu mempertimbangkan pasar. Usaha akan ditempatkan di lokasi yang secara relatif  paling murah yang merupakan perpaduan biaya dan pasar. Dengan penduduk hanya 3,6 juta dan wilayah yang begitu luas, menempatkan industri di Papua tentu kurang menarik jika dibandingkan dengan di Jawa 
Pindahkan Beberapa Kantor Kementerian
Perkembangan internet akhir-akhir ini merupakan keajaiban yang menyatukan Indonesia. Tetapi, pasar yang riil tetap bersandar pada jumlah penduduk tertentu. Bagaimana cara menjadikan Papua semaju barat? Tidak ada jalan lain kecuali memindahkan sumber kemajuan ke pulau tersebut. Selama ini, Papua hanya menjadi sasaran transmigrasi. Hal itu membawa sedikit kemajuan Papua. Tetapi, tetap terlalu lama untuk mengejar kemajuan di bagian barat.
 Untuk membuat lompatan sejajar dengan Indonesia Barat, dari sisi negara, satu-satunya jalan adalah memindahkan beberapa kementerian dan kantor wakil presiden. Dengan demikian, yang dipindahkan adalah puncak kemajuan itu, baik dalam arti  ekonomi, politik, maupun birokrasi.
 Dengan memindahkan secara fisik beberapa kantor kementerian, sejak pembangunan kantor tersebut, kemajuan sudah terjadi di Papua. Setelah masa investasi berakhir, akan terbentuk pasar berkualitas yang cukup.
 Infrastruktur yang dibangun akan semakin efisien dalam arti penggunaan yang cukup. Demikian lah campur tangan negara  dalam waktu yang relatif singkat. Transmigrasi kurang diminati warga Papua karena membuat kemajuan melambat dan tidak membawa market yang spektakuler  yang bisa membuat industri di Papua mencapai skala keekonomian.
 Industri  yang paling dekat dikembangkan di Papua adalah industri primer, ternak sapi sebagai pengganti impor daging penyuplai seluruh kebutuhan daging Nusantara. Selanjutnya, industri perikanan laut dengan tingkat pencemaran yang masih rendah.  Untuk itu, diperlukan infrastruktur pelabuhan dan cool storage  untuk membawa daging ke barat. 
 Jadi, tahap membangun Papua adalah menciptakan pasar dan user infrastruktur berkualitas dengan bantuan negara dengan memindahkan beberapa kementerian dan kantor Wapres. Tahap berikutnya adalah pembangunan industri primer kombinasi negara dan swasta.  Selanjutnya, industri infrastruktur dasar semen, barang galian, dan logam dasar. Tentu saja, jasa-jasa seperti perbankan, hotel, restoran, dan pendidikan menyertai setiap tahap tersebut.
Cicak Putus Ekornya 
Mengapa Papua harus dibangun dengan cepat? Siapa saja yang berkunjung ke Papua dan berusaha memahami apa yang terjadi pasti setuju dengan kata ”cepat” ini. Kebetulan, Papua suka melukis cicak seperti aborigin di Australia. Cicak bisa putus ekornya dan bukan kepalanya. 
Lihatlah rumah sakit ortopedi, sangat banyak orang yang patah kaki dan tangan yang ternyata memang rawan patah. Anatomi biologi sama dengan anatomi politik, ekonomi, dan sosial. Apa yang terjadi pada Papua dari proposal terbuka ini? Papua akan maju melompat tidak natural dan lama, yang membuat siapa pun tidak sabar, baik dalam negeri maupun luar negeri.
 Masyarakat Papua akan bangga karena tidak lagi menjadi ekor, tetapi ibu kota kedua. Dengan demikian, nasionalisme meningkat. Hal itu akan menjadi multikultur yang menarik swasta. Industri pun datang secara sukarela dan akan menghilangkan banyak prasangka. #

______________
*) Penulis adalah  Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos- Agustus 2015)




Hal-hal yang Luar Biasa pada Kasus Tolikara

Oleh: Neles Tebay *)

PADA tanggal 17/7, 2015, terjadi aksi kekerasan dimana puluhan kios dan rumah dibakar yang apinya merembes hingga terbakarnya sebuah mushola, dan satu pemuda tewas dan 10 orang warga sipil menderita luka karena penembakan di Karubaga, ibu kota Kabupaten Tolikara.  Aksi kekerasan pembakaran dan penembakan ini, kami sebut “Kasus Tolikara”.
 Berdasarkan pengalaman selama ini, kami menemukan empat hal yang luar biasa pada Kasus Tolikara. Hal-hal tersebut tidak pernah terjadi dalam sejarah Papua dan, menurut pengamatan kami, baru pertama kali terjadi pada Kasus Tolikara.
 Pertama,  menurut sepengetahuan kami, tidak pernah ada satu kekerasan yang terjadi pada hari raya keagamaan, entah apa pun agamanya, di Tanah Papua. Warga Papua sangat menghormati hari raya dari semua agama. Oleh sebab itu aksi kekerasan berupa pembakaran kios dan penembakan terhadap warga sipil yang terjadi pada hari raya Idul Fitri 1436 H, merupakan peristiwa yang luar bisa.
 Kedua, sekalipun terjadi di daerah terpencil yang dapat dijangkau hanya melalui pesawat kecil bermesin tunggal, Kasus Tolikara menarik perhatian dan reaksi yang luar biasa dari seluruh nusantara. Reaksinya bukan hanya beragam, tetapi juga berasal dari berbagai kalangan, mulai dari orang kecil hingga Presiden. Semua organisasi keagamaan memberikan tanggapan atas Kasus Tolikara. Reaksi yang paling banyak datang dari luar Tanah Papua. Banyaknya reaksi dan tanggapan terhadap suatu kekerasan yang terjadi di Tanah Papua merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi dalam sejarah Papua.
 Kasus Tolikara bukanlah satu-satunya kekerasan yang terjadi di Tanah Papua. Warga Papua telah mengalami banyak konflik kekerasan. Tidak sedikit orang yang telah dibunuh dan terbunuh melalui kekerasan. Sejarah Papua telah diwarnai oleh berbagai macam kekerasan. Aksi-aksi kekerasan masih terus terjadi hingga kini. Sebagai akibatnya, Tanah Papua sudah diidentikan sebagai tanah konflik. Sekalipun telah terjadi banyak aksi kekerasan selama ini, warga Papua tidak pernah melihat reaksi yang luar biasa seperti yang terjadi pada Kasus Tolikara.
  Sebagai salah satu kasus perbandingannya adalah ketika empat pemuda tewas tertembak dan 18 warga sipil lainya menderita luka tembak, 8/12, 2014, di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai. Kasusnya belum dituntaskan hingga kini. Banyak pihak di Papua memberikan reaksi dan tanggapan, tetapi reaksi dari luar Papua tidak terdengar. Kami hanya memperkirakan bahwa banyak pihak di provinsi-provinsi lain tidak memberikan tanggapannya bukan karena tidak mau menyatakan solidaritas kemanusiaan dengan para korban yang adalah Warga Negara Indonesia tetapi karena informasi tentang penembakan  tersebut tidak tersebar luas dan diketahui oleh banyak pihak.
 Ketiga, patut diakui bahwa Kasus Tolikara menjadi satu-satunya kasus kekerasan di Tanah Papua yang menarik perhatian dan kunjungan dari pejabat tinggi baik dari Provinsi Papua maupun, dan terutama, dari Pemerintah Pusat di Jakarta. Begitu Kasus Tolikara meledak, Kapolda Papua dan Pangdam XVII Cenderawasih mengunjungi Tolikara. Setelah itu, Kapolri melakukan kunjungan ke sana, diikuti oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, dan  Menkopolhukam.
 Pada kasus kekerasan lain yang terjadi di Tanah Papua selama ini, tidak banyak pejabat, terutama dari Pemerintah Pusat, yang langsung pergi ke tempat kejadian perkara. Tetapi pada Kasus Tolikara, banyak pejabat turun langsung ke Karubaga. Semua kunjungan ini patut diberikan apresiasi karena memperlihatkan kepekaan dan komitment mereka untuk menyelesaikan Kasus Tolikara secara komprehensif, tidak parsial. 
 Keempat, kami mengamati bahwa delapan institusi telah mengumumkan kepada publik niatnya untuk melakukan investigasi terhadap Kasus Tolikara. Kedelapan institusi tersebut adalah POLRI, Komnas HAM RI, Kementerian Agama, Komisi II DPR RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Forum Silahturrahmi Tamir Masdjid dan Mushala Indonesia (Fahmi Tamami), dan Komite Umat Untuk Tolikara Papua. Mungkin ada juga lembaga-lembaga lain yang mengambil inisiatif untuk melakukan investigasi di Tolikara tanpa mengumumkan terlebih dahulu melalui media masa dan media sosial.
 Hal yang luar biasa adalah bahwa semua lembaga yang ingin melakukan investigasi kasus ini berasal dari luar Tanah Papua, lebih tepatnya dari Jakarta. Hal ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah Papua, karena menurut pengamatan kami selama ini, sekalipun terjadi banyak aksi kekerasan di Tanah Papua tetapi tidak pernah ada lembaga dalam jumlah sebanyak ini yang berniat melakukan investigasi di lapangan.
 Kami memberikan apresiasi yang tinggi kepada semua pihak yang berkehendak untuk melaksanakan investigasi atas Kasus Tolikara. Banyaknya tim investigasi ini menandakan bahwa semua pihak menghendaki agar kebenaran tentang apa yang terjadi di lapangan diungkapkan secara transparan.
 Semoga kebenaran informasi yang didasarkan pada investigasi dapat membantu semua pihak untuk mendapatkan pencerahan, melihat masalah secara jernih, memperoleh pemahaman yang benar tentang peristiwa Tolikara, dan menyelesaikan kasus ini secara damai.#
____________
*) Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur di Abepura.

(artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Agustus 2015)